Filosofi Kupatan

‘’Filosofi Kupatan’’


Zastrouw menjelaskan, secara filosofis tradisi ketupat berasal dari kiroto boso (akronim) Jawi dari kata kupat yang berarti ngaku lepat (mengaku salah). Melalui tradisi ketupat ini manusia diingatkan agar pada saat lebaran saling mengakui kesalahan.

Ketupat terbuat dari janur dari kiroto boso jaa nur yang berarti datangnya cahaya. Maksudnya orang yang telah mengakui kesalahan dan bisa menjaga diri dari kesalahan akan memperoleh cahaya kehidupan.

Ketupat berbentuk segi empat melambangkan empat arah mata angin (kiblat papat). Maksudnya dari empat penjuru mata angin manusia ada yang menjaga dan mengikuti yang dikenal dengan sebutan sedulur papat dalam pandangan kosmologi manusia Nusantara.

“Pandangan ini kemudian digunakan untuk mentrasformasikan ajaran Islam mengenai adanya malaikat pencatat amal yang selalu mengikuti perjalanan hidup manusia,” kata Zastrouw.

Selain itu segi empat juga memiliki makna yang lain. Laku empat ada dalam tradisi kupatan, yakni:
1)      Lebaran (sudah usai, menandakan berakhirnya waktu puasa),
2)      Luberan (meluber atau melimpah, ajakan bersedekah untuk kaum miskin dalam kewajiban pengeluaran zakat fitrah),
3)      Leburan (sudah habis dan lebur. Dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain,
4)      Laburan (berasal dari kata labur, dengan kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya).

Selain dalam kosmologi Jawa juga ada istilah limo pancer sebagai pengendali dan pusat dari sedulur papatLimo pancer bermakna diri pribadi manusia itu sendiri beserta seluruh amal perilakunya. 



Oleh para wali kemudian disimbolisasikan dengan lepet yang menjadi pasangan dari kupat. Lepet = silep kang rapet. Mangga dipun silep ingkang rapet, mari kita kubur/tutup yang rapat. Jadi setelah ngaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.

Tradisi kupatan tidak hanya disajikan kupat sama lepet, tetapi dilengkapi juga dengan lontong dan opor sebagai pelengkapnya, itupun juga memiliki makna yang sangat medalam.

Kata lontong berasal dari bahasa Jawa “Olone dadi kothong” atau jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Kejelekannya sudah tidak ada lagi atau hilang”.


Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunya makna “pangapunten” alias memohon maaf.


No comments:

Post a Comment

Quotes Kyai - Story Subulas Salam